Stasiun pengisian BBM. |
“Jangan berlebihan menanggapi rencana fatwa itu,” kata Achsanul dalam perbincangan denganVIVAnews, Kamis, 30 Juni 2011. Apapun, ujarnya, adalah fakta telah terjadi penyimpangan sasaran subsidi BBM. “Penyimpangan itulah yang harus diminimalisir. Pemerintah harus bisa menjalankan program subsidi yang lebih berkeadilan,” tegas Achsanul.
Politisi muda Demokrat itu menjelaskan, subsidi BBM menghabiskan nyaris Rp100 triliun dari total Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang berjumlah Rp1.000 triliun. “Subsidi BBM mencapai Rp93 triliun, sama seperti subsidi Tarif Dasar Listrik yang juga hampir mencapai Rp100 triliun,” papar Achsanul. Dengan demikian, lanjutnya, subsidi untuk BBM dan TDL saja sudah menghabiskan Rp200 triliun atau 20 persen dari alokasi APBN.
Hal itu, kata Achsanul, diperparah dengan alokasi wajib APBN untuk membayar gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mencapai Rp700 triliun per tahun. “Jadi, dari total ABPN Rp1.000 triliun, hanya tersisa Rp300 triliun untuk rencana pembangunan di negara seluas Indonesia ini,” kata dia. Menurutnya, anggaran semacam itu tentu tidak sehat bagi sebuah negara besar yang sedang berkembang.
Apapun, Achsanul menilai, penyesuain harga BBM dan TDL melalui kenaikan tarif, harus menjadi solusi akhir yang diambil pemerintah. Penyesuain harga, ujarnya, tidak boleh dilakukan tanpa evaluasi menyeluruh yang melibatkan semua pemangku kepentingan di negeri ini.
Achsanul berpendapat, lebih tepat apabila pemerintah melakukan penyempurnaan pola distribusi subsidi. “Salah satunya ya tadi, dengan memberikan subsidi bagi masyarakat tidak mampu yang benar-benar membutuhkan,” tegas pimpinan Komisi XI DPR itu.
Sebelumnya, Ketua MUI Amidhan menyatakan, dilihat dari segi hak, subsidi untuk orang miskin tidak etis jika diambil oleh orang mampu. Ia menekankan, mengambil jatah orang miskin bisa mengarah ke pelanggaran Hak Azasi Manusia. Namun ia mengakui, kategori miskin atau tidak miskin itu relatif.
“Setahu saya, kalau orang kaya mempunyai mobil mewah, dia tidak mau membeli BBM bersubsidi jenis premium,” tutur Amidhan. Fatwa haram BBM bersubsidi bagi kalangan berada, mengemuka setelah MUI melakukan audiensi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Tapi itu hanya usulan, belum resmi ditetapkan sebagai fatwa,” imbuh Amidhan. Ia menjelaskan, kajian soal fatwa haram BBM itu bahkan belum dibawa ke Komisi Fatwa MUI. Kalau pun nantinya kajian itu dibawa ke Komisi Fatwa, Amidhan meyakini hal itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
0 komentar:
Posting Komentar